JEFF THE KILLER Vs. SLENDERMAN Part 1

JEFF THE KILLER Vs. SLENDERMAN (Part 1)
Credited to : Dylan Roberts
(Baca sampai habis,soalnya ini seri terakhir)
Gelapnya lorong becek itu diterangi oleh cahaya redup hp Sarah,
guna menunjukan arah jalan yang dia tuju. Matanya menerawang dalam kegelapan,
gadis itu gemetar hebat. Apa yang terjadi padanya tadi malam adalah sebuah
misteri.
Dia kembali teringat, saat itu di sebuah bar. Dia datang bersama
beberapa teman, menikmati pesta malam yang menyenangkan. Takkan terjadi apa
apa, itulah yang dia kira.
Sekarang dengan gemetaran, dia berjalan melewati gedung satu ke gedung lainnya pada pukul tiga pagi. Semuanya tampak buram. Dia melewati sebuah motel tua penuh tikus, dan sebuah pub.
Sekarang dengan gemetaran, dia berjalan melewati gedung satu ke gedung lainnya pada pukul tiga pagi. Semuanya tampak buram. Dia melewati sebuah motel tua penuh tikus, dan sebuah pub.
Sarah terus menyusuri pinggiran jalan sekitar tempat tinggalnya,
yang di kelilingi oleh rimbunan lebat pepohonan. Dia berjalan, sesekali
memejamkan mata untuk beberapa saat.
Berlindung di balik jaketnya untuk sedikit kehangatan dari hujan yang mengguyur tubuhnya dan terasa seperti sangat lama. Sesaat sebelum kelopak matanya berkedip, sesuatu berkilat di sudut penglihatan Sarah. Sontak saja dia kembali terbelalak, dan pupilnya melebar. Dia melihat ke sekeliling.
Berlindung di balik jaketnya untuk sedikit kehangatan dari hujan yang mengguyur tubuhnya dan terasa seperti sangat lama. Sesaat sebelum kelopak matanya berkedip, sesuatu berkilat di sudut penglihatan Sarah. Sontak saja dia kembali terbelalak, dan pupilnya melebar. Dia melihat ke sekeliling.
Tak nampak apapun karena gelap dan derasnya hujan. Dia berbalik
dan melanjutkan berjalan, berharap segera sampai di rumah. Sembari dia terus
menoleh kesana kemari, teringat olehnya sebuah jalan pintas yang pernah dia
lewati dulu saat kanak kanak ketika sedang bermain petak umpet dengan teman
teman masa kecilnya.
Namun jalan itu terjulur menembus hutan. Sarah yang kedinginan
merasa ragu, tapi kemudian memutuskan bahwa jalan pintas tersebut akan
mempercepat sampainya dia di rumahnya yang hangat.
Sarahpun melangkah menuju hutan. Ketika dia hendak berjalan memasuki hutan, terlihat tiga pepohonan bergambar sebuah tanda. Tanda yang tak dimengerti olehnya, tampak seperti sebuah lingkaran dengan silang X ditengah tengah. Dia kemudian tahu tanda itu tak berarti, jadi dia menganggap mungkin itu simbol dari geng atau semacamnya. Diapun memasuki hutan, dan terkenang akan masa masa indahnya dulu saat dia masih kecil. Dengan lantang dia berbicara dalam hati kepada dirinya sendiri,
Sarahpun melangkah menuju hutan. Ketika dia hendak berjalan memasuki hutan, terlihat tiga pepohonan bergambar sebuah tanda. Tanda yang tak dimengerti olehnya, tampak seperti sebuah lingkaran dengan silang X ditengah tengah. Dia kemudian tahu tanda itu tak berarti, jadi dia menganggap mungkin itu simbol dari geng atau semacamnya. Diapun memasuki hutan, dan terkenang akan masa masa indahnya dulu saat dia masih kecil. Dengan lantang dia berbicara dalam hati kepada dirinya sendiri,
"Aku rindu saat saat itu. Dulu sekali ketika dunia masih
bukan tempat yang bur-"
Suaranya terpotong. Sarah mendengar bunyi ranting patah yang
keras jauh dari arah belakangnya. Ketakutan, diapun mulai berlari menembus
hutan, dan segera saja dia kehilangan arah. Dia terus berlari ke segala arah,
berharap menemukan jalan keluar. Karena begitu panik kakinya tersandung akar
yang menjulur di tanah, diapun terjatuh. Keinginan untuk segera berdiri membuat
kakinya semakin nyeri. Persendiannya terkilir.
"Seseorang aku mohon... Tolong aku!" teriaknya.
Gemerisik dedaunan kembali terdengar. Dia ingin segera bangkit
dan berlari, namun luka itu membuatnya tak mampu bergerak. Dia memejamkan mata
dengan panik, ketika dia membuka mata, seorang pria pucat, tinggi, dengan
setelan jas hitam berdiri di hadapannya. Segera penglihatannya memburam karena
sosok pria itu. Gadis itu mulai menjerit ngeri, tapi segera terbungkam oleh
pria yang berada persis di hadapannya dalam kegelapan.
****************************
Pukul empat pagi. Seorang yang dahulu remaja muda, sekarang
adalah psikopat berdarah dingin. Jeff the killer baru saja menyelesaikan apa
yang di sebutnya sebagai "kegiatan harian". Yaitu pembantaian orang
orang tak bersalah, itu adalah hal yang selalu memenuhi otak Jeff. Dia menyeret
kakinya menapaki semen basah dan memasuki tempat yang dianggapnya sebagai rumah
selama bertahun tahun. Jeff melangkahkan kaki memasuki dunia kenangan tragis,
sambil menggenggam dua botol wiski dengan satu tangan. Jeff sudah menjadi mesin
pembunuh mabuk.
Pikirannya di penuhi aroma pembunuhan. Pikiran yang sudah
bersemayam di otak saikonya sejak dia lahir. Tetesan air hujan membentur atap
rumah usang itu, dan Jeff teringat akan malam dimana dia telah membantai
seluruh anggota keluarganya. Dia terkekeh oleh kenangan itu. Bukan karena
kegilaanya, mungkin karena dia berpikir akan penyesalan. Rasa bersalah yang
dalam karena telah merenggut nyawa dari orang orang yang dia cintai dulu. Tapi
perasaan seperti itu sungguh tidak mungkin saat ini. Karena Jeff hanya tercipta
untuk satu tujuan, hanya satu. Kematian.
Jam lima lebih enam menit pagi. Dia meneguk alkoholnya.
"Ngapain juga aku duduk disini..!" Jeff menggerutu.
Kemudian dia bangkit berdiri dan berjalan keluar, merentangkan
tubuhnya, dan kembali menelan seteguk wiski. Alkohol melumuri bibir berdarahnya
yang hangat, dan terasa olehnya suatu sensasi yang aneh. Sesuatu yang genting
menohok pemikirannya. Dia berdiri mematung di ruangan itu, menatap keluar ke
arah hutan di seberang sana. Jeff memeriksa kantungnya, yang berisi rokok,
pemantik, dan tentu saja sebilah pisau. Jeff tahu ada sesuatu yang salah.
Perasaan yang menohok itu adalah campuran dari hasrat untuk membunuh lagi, dan
sesuatu yang sangat berbeda dari yang pernah dia rasakan.
Dia menerjang keluar dari rumahnya, menuju kedalam malam yang
dingin dan basah. Sekarang Jeff berada di sebuah jalan gelap, penerangannya
hanya bersumber dari lampu jalan yang remang remang. Hujan masih mengguyur,
membasahi punggung Jeff. Dia mulai melangkah menuju hutan. Dengan agak
sempoyongan, karena pengaruh alkoholnya yang terlalu keras. Si pembantai itu
pun memasuki hutan lebat di hadapannya.
Sekilas dia menoleh ke kiri. Jeff tak terlalu jauh dari pemakaman. Dia melangkah melewatinya. Sebuah pemikiran merangsek otak Jeff, seperti angin yang bertiup di siang bolong. Sisa sisa dari keluarganya berada di pemakaman itu, hanya berjarak satu kaki darinya, dan membuatnya tertegun.
Sekilas dia menoleh ke kiri. Jeff tak terlalu jauh dari pemakaman. Dia melangkah melewatinya. Sebuah pemikiran merangsek otak Jeff, seperti angin yang bertiup di siang bolong. Sisa sisa dari keluarganya berada di pemakaman itu, hanya berjarak satu kaki darinya, dan membuatnya tertegun.
Dia menggerakkan kakinya menuju ke pemakaman. Dia terpeleset
beberapa kali saat jaraknya semakin dekat. Dia pun tiba di sana. Bau busuk
kematian dari Jeff menyebar, dari jaket yang berlumur darah para korbannya.
Jeff memandang ke sebuah nisan batu yang lembab. Penglihatannya terlalu kabur
untuk membaca tulisan yang terukir di sana, karena itu, diapun hanya berdiri
dan menatap dalam diam. Batin Jeff mulai terasa pilu, dan tenggorokannya
mengering. Perasaan yang di rasakanya beberapa menit yang lalu kembali muncul.
Jeff pun segera berbalik menuju hutan. Sambil terhuyung huyung,
matanya menerawang ke sebuah pohon yang berada beberapa kaki jauhnya dari yang
lain. Tertancap di sana selembar kertas usang. Matanya memburam, dia tak dapat
membaca tulisannya. Diapun mengacuhkan hal itu, dan melangkah lebih jauh dalam
kegelapan. Saat dia hampir terbiasa dengan keadaan sekitar, hutan terasa
seperti rumah yang sesungguhnya.
Sambil mencengkeram botol wiski, dia meneliti keseluruhan hutan
dalam keadaan mabuk total. Kegelapan hutan mengingatkan Jeff akan sebuah aula
gelap, dimana dia bisa dengan mudah menggorok leher para korbannya tanpa
terlihat.
Dia melanjutkan penjelajahan, dan semakin terpesona. Kegelapan yang hampa melingkupinya. Berbisik dia pada dirinya sendiri sesuatu yang tak jelas, dia mulai berlari kecil. Ada sesuatu yang terasa agak aneh. Suara gemersak dedaunan terdengar terlalu nyaring untuk derap langkah kakinya sendiri. Jeff merasakan intaian di batas penglihatannya.
Dia melanjutkan penjelajahan, dan semakin terpesona. Kegelapan yang hampa melingkupinya. Berbisik dia pada dirinya sendiri sesuatu yang tak jelas, dia mulai berlari kecil. Ada sesuatu yang terasa agak aneh. Suara gemersak dedaunan terdengar terlalu nyaring untuk derap langkah kakinya sendiri. Jeff merasakan intaian di batas penglihatannya.
"Siapa di sana?" seru Jeff.
Terdengar suara hutan yang biasa, tak ada yang aneh. Suara derik
jangkrik semakin riuh sembari Jeff meneliti keadaan sekitarnya.
"Ayolah pengecut, aku tak suka bermain main, apalagi petak
umpet."
Setelah berteriak seperti itu, Jeff bisa mendengar gemerisik
dari semak terdekat. Dia menebasnya sebelum suara gemerisik itu menghilang
lagi. Dan terlihat oleh Jeff makhluk itu.
"Dasar tikus tikus sial, kalian ini memang tak lebih
daripada hama."
Teriak Jeff sembari tikus tikus itu menelusup ke semak yang lain.
Teriak Jeff sembari tikus tikus itu menelusup ke semak yang lain.
Bersambung... Jeff The Killer Vs. Slenderman Part 2
No comments for "JEFF THE KILLER Vs. SLENDERMAN Part 1"
Post a Comment